Mustahil Bubarkan DPR Tanpa Proses Konstitusional
Gelombang Protes Membara, Wacana Pembubaran DPR Kian Menguat
Isu pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menyeruak di tengah kegelisahan publik. Bahkan, seruan demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR Senayan pada 25 Agustus 2025 menggema di berbagai kanal media sosial.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, langsung bereaksi keras terhadap wacana itu. Dengan nada tinggi, ia menyebut ajakan membubarkan DPR tak lebih dari “mental orang tolol”.
“Kalau ada yang berpikir DPR bisa dibubarkan, itu artinya nggak ngerti konstitusi. Mental orang tolol!” ujar Sahroni dengan geram.
Namun, pengamat politik Sugiyanto (SGY) punya pandangan berbeda. Menurutnya, amarah publik yang menyerukan pembubaran DPR bukan tanpa alasan.
“Secara hukum, Presiden memang tidak bisa membubarkan DPR. UUD 1945 Pasal 7C tegas melarang itu. Tapi jangan lupa, kalau rakyat sudah muak, sejarah mencatat revolusi bisa mengubah segalanya,” kata SGY dalam keterangannya, Minggu 24 Agustus 2025.
SGY mengingatkan, sistem presidensial menempatkan DPR sejajar dengan Presiden agar tidak ada kekuasaan absolut. Namun ia juga mengakui, jalan konstitusional untuk menghapus DPR hampir mustahil terjadi.
“Satu-satunya jalur adalah amandemen UUD 1945. Tapi siapa yang akan setuju? Anggota MPR mayoritas berasal dari DPR itu sendiri. Artinya DPR membubarkan dirinya sendiri—hampir mustahil,” jelasnya.
Ia menambahkan, jalan lain hanya bisa ditempuh melalui Pemilu. Namun hampir tidak mungkin rakyat kompak tidak memilih calon legislatif.
“Pilihan terakhir, ya revolusi. Kudeta. Itu jalan ekstrem yang bisa membongkar tatanan negara. Tapi risikonya sangat besar: chaos politik, ekonomi hancur, dan potensi disintegrasi bangsa,” tegas SGY.
Meski begitu, SGY tidak menampik bahwa gelombang ketidakpuasan terhadap DPR semakin membesar. Dari gaya hidup hedon anggota dewan, dugaan jual-beli pasal, hingga lemahnya fungsi pengawasan.
“Kalau DPR tidak segera berbenah, jangan salahkan rakyat kalau kemarahan mereka berubah jadi gerakan jalanan. Kita pernah lihat 1998, semua bisa terbakar. Seharusnya DPR kembali ke jati dirinya: bekerja untuk rakyat, bukan untuk kantong pribadi,” pungkasnya.