Ramai Seruan Bubarkan DPR, Analisis Sebut Wujud Akumulasi Kekecewaan
Desakan Pembubaran DPR Menguat Usai Polemik Tunjangan Rumah Rp50 Juta
Jakarta, 25 Agustus 2025 — Polemik tunjangan rumah kedewanan senilai Rp50 juta per anggota parlemen kembali menuai kontroversi dan memicu desakan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Isu tersebut dianggap publik sebagai bentuk ketidakpekaan wakil rakyat terhadap kondisi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.
Pengamat politik Adi Prayitno, Direktur Parameter Politik Indonesia, menilai persoalan ini menjadi sorotan karena kontras dengan realitas rakyat.
“Isu tunjangan rumah ini menjadi pemantik karena rakyat sedang susah, banyak yang kehilangan pekerjaan akibat PHK, ditambah tekanan ekonomi yang tidak kunjung reda,” ujarnya melalui kanal YouTube miliknya, Senin (25/8/2025).
Respons DPR Dinilai Tidak Empatik
Alih-alih menunjukkan empati, sebagian anggota DPR justru menilai tunjangan tersebut wajar dengan alasan padatnya beban kerja dewan serta kebutuhan tempat tinggal yang dekat dengan Senayan. Argumen ini dinilai publik semakin memperlebar jarak antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya.
Padahal, menurut kritik yang berkembang, kinerja DPR pasca 10 bulan dilantik masih jauh dari harapan. Sejumlah catatan yang dikritisi antara lain:
-
Minimnya undang-undang strategis yang disahkan.
-
Target legislasi yang belum tercapai.
-
Fungsi pengawasan yang dinilai tidak berjalan optimal.
“Banyak peristiwa politik besar terjadi, tapi DPR tidak tampak berpihak pada kepentingan publik,” jelas Adi.
Akumulasi Kekecewaan Publik
Adi menegaskan, desakan pembubaran DPR ini bukan semata reaksi spontan, melainkan akumulasi dari rasa kecewa masyarakat terhadap kinerja parlemen.
“Ini semacam anti klimaks. Publik merasa anggota dewan tidak sesuai harapan, sehingga muncul wacana pembubaran DPR sebagai bentuk protes,” tegasnya.
Meskipun wacana ini masih berupa tekanan moral dan opini publik, analis menilai hal itu merupakan sinyal kuat agar DPR segera berbenah. Transparansi penggunaan anggaran, peningkatan produktivitas legislasi, dan keseriusan dalam pengawasan pemerintah disebut menjadi jalan untuk memulihkan kepercayaan publik.